Selasa, 01 Maret 2011

HOKY CELL


SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

HOKY Cell Menyajikan Informasi Voucher Elektonik dengan Harga Yang mengejutkan (Kami tidak mempunyai cabang dimanapun, dan kami tdk bertanggung jawab jika ada yg mendaftar selain pada cs kami dan sms hanya pada no 085731505455/085731505456 bukan yg lain)



INDOSAT
KODE HARGA
IR2 Rp2,050.00
IR5 Rp5,000.00
IS5 Rp5,000.00
IG5 Rp5,000.00
IM5 Rp5,000.00
IR10 Rp9,900.00
IG10 Rp9,900.00
IS10 Rp9,900.00
IM10 Rp10,000.00
IR25 Rp24,450.00
IG25 Rp24,450.00
IS25 Rp24,450.00
IM25 Rp24,700.00
IR50 Rp48,700.00
IM50 Rp49,000.00
IR100 Rp97,300.00
IM100 Rp98,000.00

CONTOH
IR=PULSA REGULER
IR=INTERNET IM2 dg no 0814xxxxx
IS5H,IS10H,IS25H=PULSA SMS
IG5H,IG10H,IG25H=PULSA GPRS
CEK HARGA:ISAT
CEK HARGA:IM2

FLEXI
KODE HARGA
F5 Rp4,800.00
F10 Rp9,600.00
F20 Rp19,200.00
F50 Rp47,850.00
F100 Rp95,600.00
CEK HARGA : FLEXI

FLEXI TRANSFER
KODE HARGA
FT10 Rp8,900.00
FT20 Rp18,000.00
FT50 Rp44,000.00
FT100 Rp88,000.00
CEK HARGA : FTRANSFER

STAR ONE
KODE HARGA
ST2 Rp2,050.00
ST5 Rp5,000.00
ST10 Rp10,000.00
ST25 Rp24,500.00
ST50 Rp48,750.00
ST100 Rp97,600.00
CEK HARGA: STAR ONE

ESIA
KODE HARGA
E1 Rp1,100.00
E5 Rp5,250.00
E10 Rp10,250.00
E20 Rp20,000.00
E25 Rp25,000.00
E50 Rp50,000.00
E100 Rp99,500.00
CEK HARGA : ESIA

AXIS
KODE HARGA
AX1 Rp1,050.00
AX2 Rp2,050.00
AX3 Rp2,950.00
AX4 Rp3,900.00
AX5 Rp4,900.00
AX10 Rp9,650.00
AX20 Rp19,200.00
AX25 Rp23,975.00
AX30 Rp28,700.00
AX50 Rp47,900.00
AX100 Rp95,500.00
CEK HARGA : AXIS

XL
KODE HARGA
X5 Rp5,250.00
X10 Rp10,150.00
X25 Rp24,800.00
X50 Rp49,600.00
X100 Rp99,000
XX10H Rp10,200.00
XX50H Rp49,450.00
XX100H Rp98,750.00
X :PULSA REGULER
XX :PULSA EKSTRA
CEK HARGA : XL REG

CERIA
KODE HARGA
C5 Rp4,800.00
C10 Rp9,500.00
C20 Rp19,000.00
C50 Rp47,100.00
C100 Rp94,000.00
CEK HARGA : CERIA

SMART
KODE HARGA
SM5H Rp4,900.00
SM10H Rp9,750.00
SM20H Rp19,350
SM50H Rp48,250.00
SM100H Rp96,400.00
CEK HARGA : SMART

THREE
KODE HARGA
T1 Rp1,050.00
T2 Rp2,000.00
T3 Rp3,000.00
T4 Rp3,950.00
T5 Rp4,950.00
T10 Rp9,800.00
T20 Rp19,400.00
T30 Rp29,000.00
T50 Rp48,350.00
T100 Rp96,500.00
CEK HARGA : THREE

TELKOMSEL AS & SIMPATI NASIONAL
KODE HARGA
TN5 Rp5,250.00
TN10 Rp10,150.00
TN15 Rp15,900.00
TN20 Rp20,000.00
TN25 Rp25,300.00
TN50 Rp48,800.00
TN100 Rp97,200.00
CEK HARGA : TELKOMSEL

TELKOMSEL JATIM
TJ5 Rp5,150.00
TJ10 Rp9,700.00
TJ15 Rp15,700.00
TJ20 Rp19,900.00
TJ25 Rp25,100.00
TJ50 Rp48,700.00
TJ100 Rp97,200.00
CEK HARGA : TELKOMSEL

HEPI
KODE HARGA
H5 Rp4,900.00
H10 Rp9,700.00
H25 Rp24,200.00
H50 Rp48,300.00
H100 Rp946,300.00
CEK HARGA : HEPI

FREN
KODE HARGA
FR10 Rp9,700.00
FR20 Rp19,350.00
FR25 Rp24,100.00
FR50 Rp47,400.00
FR100 Rp94,600.00
CEK HARGA : FREN

TRANSAKSI

Cara transaksi
Ketik: :MKodeVoucherNoHpPIN
Contoh: :M.TJ20.081334070859.1234
Transaksi Multi ( 1 sms bisa 5 Transaksi)
Ketik: :MKodeVoucherNoHpKodeVoucherNoHpPIN
Contoh: :M.TJ20.081334070859.1R10.08564796345.1234
Isi no & nominal sama lebih dari 1x dalam 1 hari(Hanya Berlaku Untuk Trx)
Ketik: :MKodeVoucherNoHpPINRO
Contoh: :M.TJ20.081334070859.1234.RO
Cek Saldo
Ketik: :SaldoPIN
Contoh: :Saldo.1234
Cek Saldo Down Line
Ketik: :SDID DOWNPIN
Contoh: :SD.NA060.1234
Complain Transaksi
Ketik: :Info.Pesan Komplain
Contoh: :Info.TJ20 081334070859 pulsa belum masuk
Cek Harga Voucher
Ketik: :HargaOperatorPin
Contoh: :Harga.TELKOMSEL.1234
Cara mendaftarkan Downline
Ketik: :RegNOHPNAMAKOTASELESIHPIN
Contoh: :Reg.085646413136.BEJO CEL.MALANG.100.1234
Cara Transfer Saldo Downline
Ketik: :TRIdmemberNominalPIN
Contoh: :TR.BE006.100000.1234
TRANSAKSI LEWAT YM
KODE PRODUK DI TAMBAH "H"
CONTOH :
IR5=IR5H
TJ5=TJ5H
SMS CENTER
XL :081937765000 & 087759713000
AS :085259530003 & 085259530009
IM3: 085649730000, 085755211888,085646478889 & 085646478900
MENTARI : 085615382000
YM SERVER CENTER
YM SERVER : princes.vashya@rocketmail.com
sarifuddin_16@yahoo.com

cara deposit via transfer
MANDIRI : a/n ABD JABBAR SARIFUDDIN
no rek.1410009804659
BCA : a/n FADHILLA AIS'SYAH PUTRI
no rek.79150311002
BRI : a/n FADHILLA AIS'SYAH PUTRI
no rek.125901001398503
sebelum dan setelah transfer ke rekening harap segera konfirmasike no
085731505455/085731505456

neurologi anak



Pendekatan Neurologi Pada Penilaian Perkembangan Anak



PENDAHULUAN

Masa depan suatu masyarakat tergantung dari kemampuannya dalam merawat dan mengasuh serta menangani kesehatan generasi berikutnya. Anak anak pada masa kini akan menjadi anggota masyarakat, pekerja, dan orang tua untuk masa yang akan datang.

Bila kita gagal dalam memberi atau menentukan kebutuhan yang diperlukan untuk membangun fondasi yang kuat dalam segi kesehatan kehidupan yang produktif, akan beresiko untuk keadaan dan keamanan dimasa depan.

Pemahaman akan pentingnya penanganan pada anak usia dini berkembang berdasarkan atas 2 hal, yaitu: (i) Berdasarkan penelitian neurobiology pada proses pembentukan arsitektur otak dimana terdapat interaksi antara genetic dan pengalaman dasar. Sementara itu disadari bahwa untuk menghadapi persaingan dalam proses ekonomi global yang sangat kompetitif, dibutuhkan tenaga kerja yang sangat terampil dan populasi dewasa yang sehat. (ii) Penanganan pada usia dini melibatkan masyarakat, termasuk keluarga dan pengambil keputusan, baik dalam bidang formal maupun informal.

Setiap anak merupakan individu yang unik dan perkembangan yang terjadi mengikuti pola tertentu, dengan kecepatan yang berbeda antar individu tersebut dan dari waktu kewaktu. Perkembangan ini dipengaruhi banyak factor antara lain keadaan saat dalam kandungan,lahir, dan sesudah dilahirkan (termasuk stress yang dihadapi).

Pemahaman dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan mengenai anak usia dini dan perkembangan otak pada usia dini akan menghasilkan kebijakan program penanganan anak usia dini yang berefek pada kehidupan anak yang lebih baik.

PERKEMBANGAN ANAK

Perkembangan adalah proses yang berlangsung sejak konsepsi, lahir dan sesudahnya, dimana badan, otak, kemampuan dan tingkah laku pada masa usia dini, anak2, dan dewasa menjadi lebih kompleks dan berlanjut dengan kematangan sepanjang hidup.

Perkembangan anak adalah bagaimana seorang anak menjadi dapat melakukan sesuatu yang lebih kompleks dengan bertambahnya usia.

Perkembangan anak normal meliputi perkembangan keterampilan seperti: (a)Motorik kasar: menggunakan sekelompok otot untuk duduk, berdiri, berjalan, lari dll, mempertahankan keseimbangan dan berubah posisi. (b) Motorik halus: menggunakan tangan untuk dapat makan, menggambar, memakai baju, bermain, menulis dll. (c) Bahasa: berbicara, menggunakan bahasa tubuh dan gesture, berkomunikasi dan mengerti apa yang dikatakan orang. (d) Kognitif: keterampilan untuk berpikir, termasuk belajar, mengerti, memecahkan masalah, mengemukakan alasan dan mengingat. (e) Sosial: berinteraksi dengan orng lain, mempunyai hubungan dengan keluarga, teman, guru, bekerjasama dan dapat berespon terhadap perasaan orang lain.

Tahapan perkembangan adalah sekumpulan keterampilan fungsional atau kemampuan berdasarkan usia yang dapat dilakukan oleh kebanyakan anak pada usia tertentu.

Berdasarkan penelitian2 yang melibatkan neurosciences, perkembangan psikology, dokter anak dan ahli ekonomi; National Scientific Council yang berpusat di Pusat perkembangan Anak di Universitas Harvard memaparkan adanya Inti konsep perkembangan anak (terutama perkembangan anak pada usia dini) yang bertujuan untuk membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk memahami prinsip inti bagaimana kerja tubuh dan mementukan langkah yang diambil untuk menggerakan masyarakat.

INTI KONSEP PERKEMBANGAN ANAK

Inti konsep perkembangan anak terdiri dari 6 langkah yaitu: (1) Perkembangan anak adalah dasar untuk pembentukan komunitas dan perkembangan ekonomi; karena anak yang pandai/cakap akan menjadi dasar untuk tercapainya keberhasilan dan menjadikan masyarakat yang tangguh. (2) Perkembangan otak berlangsung berdasarkan waktu. (3) Adanya pengaruh interaksi antara gene dan pengalaman akan membentuk arsitektur perkembangan otak, dan hal yang penting adalah adanya proses timbale balik dan keterlibatan hubungan anak dengan orang tua dan pengasuh didalam keluarga maupun masyarakat. (4) Arsitektur otak dan terbentuknya kemampuan dibentuk dari bawah keatas, dimulai dengan lintasan otak dan keterampilan yang sederhana merupakan penopang untuk lintasan dan keterampilan yang lebih sulit. (5). Toksik stress pada masa usia dini akan berhubungan dengan efek pada sistim saraf dan sistim hormone stress yang menetap yang dapat merusak arsitektur pembentukan otak dan menimbulkan masalah dibidang proses pelajar, tingkah laku, kesehatan fisik dan mental disepanjang hidupnya. (6). Menciptakan kondisi yang tepat untuk proses pembentukan anak usia dini akan lebih efektif dan lebih murah disbanding penanganan pada usia yang lebih besar.

KONSEP PERKEMBANGAN ANAK

(1) Perkembangan dini dari keterampilan kognitif, emosional, kemampuan bersosialisasi dan kesehatan jiwa dan fisik akan membangun dasar yang kuat untuk suatu keberhasilan pada usia dewasa.

Setelah melewati masa singkat yang penting untuk pencapaian disekolah yang positip, yang merupakan prasyarat kritis untuk produktifitas ekonomi dan tanggung jawab sebagai warga negara sepanjang hidupnya.

Semua aspek modal orang dewasa mulai dari keterampilan untuk bekerja sampai tingkahlaku mau bekerjasama dan tidak melawan hukum, dibentuk sejak masa kanak-kanak sejak dilahirkan;

Pembentukan dasar arsitektur otak dimulai melalui suatu proses yang berkesinambungan mulai dari saat dalam kandungan, berlangsung sampai dewasa. Proses pembentukan ini melewati tahapan kritis yang berhubungan dengan lintasan spesifik yang berhubungan dengan kemampuan/keterampilan spesifik. Perkembangan pertambahan kemampuan yang kompleks dan lintasan yang mendasari dibangun diatas sirkuit atau keterampilan yang telah terbentuk sebelumnya. Melalui mekanisme tersebut, pengalaman pada tahap awal akan merupakan fondasi/dasar untuk belajar berkelanjutan, tingkah laku, kesehatan mental dan fisik.

(2) Adanya dasar yang kuat pada tahun pertama kehidupan meningkatkan kemungkinan hasil ahir yang positip; dan fondasi yang lemah akan meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya kesulitan dimasa yang akan datang.

(3) Arsitektur otak terdiri dari seperangkat lintasan saraf yang sangat terintegrasi, yang terhubung dibawah pengaruh yang terus menerus dan timbal balik dari genetic dan lingkungan.

Gene berperan dalam menentukan saat pembentukan lintasan otak yang spesifik; kemudian pengalaman pribadi akan menentukan bentuk formasi tersebut.

Proses perkembangan ini dimotori oleh kemauan diri sendiri, dorongan sejak lahir yang merupakan karakteristik dasar manusia. Input sensorik yang sesuai (melalui pendengaran dan penglihatan) dan berkesinambungan, hubungan yang responsive membangun arsitektur otak yang sehat serta menentukan kekuatan fondasi untuk proses belajar dikemudian hari, tingkah laku dan kesehatan. Hubungan yang paling penting dimulai dalam keluarga, tapi seringkali melibatkan dewasa lain yang memberi peran penting pada kehidupan anak termasuk perawatan dini dan pendidikan.

Pada masa perkembangan dini, proses memberi dan menerima terjadi saat anak secara alamiah berinteraksi melalui mengoceh, ekspresi wajah, pengucapan kata, gerak tubuh dan menangis dan respon dari orang dewasa adalah melakukan hal yang sama misalnya bersuara, dan melakukan gerakan tubuh yang sama dan proses tersebut berlangsung timbal balik. Hal timbal balik tersebut akan lebih efektif bila dilakukan secara terintegrasi dengan hubungan anak dan dewasa yang berkesinambungan. Interaksi yang saling menguntungkan ini penting sebagai prasyarat untuk perkembangan lintasan otak yang sehat dan meningkatkan kemampuan keterampilan yang kompleks.

(4) Lintasan diotak yang memproses informasi dasar, terbentuk lebih dulu dibanding lintasan yang memproses informasi yang lebih kompleks. Tingkat lintasan yang lebih tinggi terbentuk pada lintasan yang lebih rendah, dan adaptasi pada tingkatan yang lebih tinggi ini akan sulit bila lintasan pada tingkat yang lebih rendah tidak terbentuk dengan sempurna.

Sejajar dengan terbentuknya lintasan diotak, terjadi pula penambahan pembentukan kemampuan kompleks pada kapasitas dasar yang leebih dasar yang telah lebih dulu terbentuk. Misalnya kemampuan untuk mengerti dan menyebutkan nama suatu benda, akan didahului oleh pembentukan kemampuan untuk membedakan dan menghasilkan suara pada bahasa tertentu.

Lintasan yang melatar belakangi kemampuan untuk menyusun kata, untuk berbicara dalam kalimat merupakan dasar untuk dapat membaca dan menulis dalam buku.

(5) Kemampuan kognitif, emosional dan sosial tidak terpisahkan dengan rangkaian yang terjadi sepanjang hidup.

Otak merupakan organ yang sangat terintegrasi, dan mengoperasikan banyak fungsi yang sangat terkoordinir. Kemampuan emosional dan sosial akan membentuk fondasi yang kuat untuk mendapatkan kemampuan kognitif dan bersama sama akan merupakan fondasi untuk pembentukan manusia.Jadi kemampuan mempelajari bahasa tidak saja dipengaruhi oleh baiknya pendengaran, kemampuan membedakan suara, kemampuan untuk menghubungkan antara mengartikan suatu kata yang spesifik, tapi juga ditentukan oleh konsentrasi, perhatian, dan keterlibatannya dalami nteraksi sosial yang berarti.

Kesehatan emosional, keterampilan sosial dan kemampuan kognitif berbahasa yang terjadi pada usia dini merupakan prasyarat untuk keberhasilannya disekolah, dan kemudian ditempat bekerja serta dimasyarakat. Dengan adanya proses maturitas, arsitektur otak juga berkembang dan berinteraksi, sehingga mempengaruhi seluruh aspek perkembangan dan kesehatan.

(6). Toxic stress pada usia dini akan berhubungan dengan efek yang menetap pada sistim saraf dan sistim hormone stress yang dapat merusak arsitektur otak yang sedang trebentukdan akan menimbulkan kesulitan dalam belajar, tingkah laku, kesehatan fisik dan mental sepanjang hidupnya.

Aktifasi sistim penanganan stress pada tubuh akan menimbulkan reaksi fisiologis yang bermacam macam; termasuk peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, dan meningkatnya kadar stress hormone (cortisol) dan protein yang berpengaruh terhadap inflamasi (sitokin). Respons tersebut mempersiapkan badan untuk bertarung dan menang.

Proses perkembangan yang sehat tergantung dari kemampuan sistim ini untuk secara cepat menangani masalah, kemudia kembali lagi kekeadaan dasar bila ancaman telah hilang.

Bila respons fisiologis ini tetap teraktifasi dalam waktu yang lama, akan menimbulkan efek samping. Yang paling terlihat adalah efek kadar kortisol yang tinggi, yang akan merupakan bahan toksik untuk pembentukan arsitektur otak.

Adanya stress pada usia dini akan menghambat pertumbuhan atau sangat merusak, tergantung intensitas dan lamanya pengalaman tersebut, perbedaan tiap individu dalam berespons secara fisologis terhadap stress, dan dukungan orang dewasa dalam menangani masalah tersebut.

Ada 3 macam stress yang berbeda dan akan menimbulkan hasil akhir yang berbeda pula, yaitu:

(a) Positive stress, berhubungan dengan respons fisiologis sedang dan untukwaktu yang singkat, misalnya peningkatan denyut nadi dan tekanan darah yang singkat atau peningkatan ringan kortisol dan sitokin. Faktor pencetusnya berupa pengalaman yang bervariasi pada perkembangan anak usia dini yang normal, misalnya kesempatan untuk bertemu dengan orang banyak, menghadapi perpisahan, mendapat imunissi, membiasakan diri dengan norma yang ditetapkan orang dewasa atau disiplin. Stress ini penting untuk perkembangan yang sehat yang terjadi dalam suasana hubungan yang mendukung dan stabil, yang akan menolong anak untuk mengembalikan kortisol dan hormone lain kekadar yang normal lagi dan menolong anak untuk mengembangkan control diri.

(b) Stress yang dapat ditoleransi, berhubungan dengan respons fisiologis yang dapat mengganggu arsitektur otak, tapi dapat dikendalikan dengan adanya hubungan yang mendukung yang akan menmfasilitasi adaptive copy sehingga tekanan darah dan kadar stress hormon kembali kenormal. Faktor pencetusnya dapat berupa ancaman yang bermakna misalnya kematian atau sakitnya orang yang dikasihi,kecelakaan yang menakutkan, perceraian orang tua, Pengalaman seperti ini dapat berefek jangka panjang tapi dapat ditoleransi bila berlangsung pada periode waktu yang terbatas, dimana orang dewasa member dukungan untuk melindungi anak dengan mengurangi pengalaman yang stressful, sehingga member kesempatan pada otak untuk pulih dari efek yang potensial menimbulkan kkerusakan akibat berlebihannya sistim penanganan stress.

(c) Toksik stress, berhubungan dengan berat dan berkepanjangannya sistim penanganan badan terhadap stress, karena tidak adanya proteksi untuk menetralisir yang berasal dari dukungan orang dewasa. Pencetusnya dapat kemiskinan yang berat karena berhubungan dengan keadaan keluarga yang kacau balau terus menerus, perlakuan yang kejam secara fisik dan emosional yang berulang, tidak diperhatikan untuk waktu yang lama, depresi ibu yang berat, kekerasan dari orang tua yang terus menerus, terpapar dengan kekerasan dalam masyarakat atau antar keluarga. Gambaran dasar dari toxic stress adalah tidak adanya konsistensi, hubungan yan mendukung agar anak dapat mengatasi dan menimbulkan respons fisiologis untuk mengembalikan lagi ke keadaan dasar. Pada keadaan tersebut meningkatnyahormon stress yang terus menerus dan mempengaruhi keadaan kimia diotak menghasilkan kadar internal fisiologis yang akan mengganggu perkembangan arsitektur otak yang dapat mneimbulkan kesulitan dalam hal proses belajar, mengingat dan regulasi diri. Stimulasi yang terus menerus dari system respons terhadap stress juga dapat berpengaruh terhadap sistim imun dan mekanisme pengaturan metabolik, akan menimbulkan ambang untuk bereaksi yang rendah yang menetap sepanjang hidupnya. Sehingga anak yang mengalami toksik stress pada masa kanak dini akan berkembang menjadi orang yang rentan terhadap sakit fisik yang berhubungan dengan stress (misalnya penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes) dan juga masalah kesehatan jiwa (seperti depresi, kelainan anxietas, dan penyalah gunaan zat terlarang).

(7) Menciptakan kondisi yang benar untuk perkembangan anak dini akan lebih efektif dan lebih murah dibandingkan penanganan masalah dimasa yang akan datang.

Dengan matangnya fungsi otak dan makin spesialistik untuk melakukan fungsi yang lebih kompleks, dan menjadi kurang mampu untuk dilakukan reorganisasi dan beradaptasi terhadap hal baru yang tidak diharapkan. Sekali lintasan itu terbentuk, akan makin stabil dengan bertambahnya usia, dan menjadi lebih sulit untuk dirubah.

Kapasitas otak untuk berubah disebut plasticitas, Plastisitas ini maksimal pada usia dini, dan akan berkurang dengan bertambahnya usia.Walaupun celah kesempatan untuk perkembangan keterampilan dan tingkah laku adaptasi akan terbuka untuk beberapa tahun kemudian, tapi merubah atau membangun kemampuan baru pada dasar lintasan otak belum terbentuk sebagaimana mestinya memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih mahal. Pada otak, berarti membutuhkan tenaga fisiologis yang lebih besar atau perlu kompensasi dari lintasan yang tidak terbentuk dengan semestinya. Sedangkan untuk masyarakat ini memerlukan pendidikan remedial, penanganan klinik, dan intervensi professional; hal tersebut lebih mahal dibandingkan memperkaya sirkuit, memberikan hubungan yang melindungi, dan pengalaman belajar yang sesuai pada masa kanak dini. Jadi pembentukan yang benar sejak awal akan lebih efisien dibandingkan memperbaiki keadaan dikemudian hari.

Agar didapatkan perkembangan pada usia dini yang lebih optimal, disarankan adanya kebijakan2 dari pembuat keputusan yang memfasilitasinya yaitu: (1) Kebijakan yang berinisiatif untuk menciptakan hubungan yang mendukung dan memberi banyak kesempatan anak usia dini untuk belajar, akan menciptakan landasan yang kuat untuk belajar ditingkat yang lebih atas, yang akan diikuti dengan produktifitas yang banyak ditempat bekerja dan menjadi warga negara yang solid di masyarakat. (2) Untuk keberhasilan program penanganan pada anak usia dini, penanganan dikembangkan dirumah dan komunitas, berupa pendidikan pada orang tua, dukungan pada keluarga, pendidikan usia dini, usia prasekolah dan institusi yang melakukan intrevensi. (3) Bila orang tua, program masyarakat yang informal dan tenaga professional yang menangani anak usia dini member perhatian terhadap kebutuhan emosional dan sosial anak, selain mengembangkan kemampuan kognitif, akan member manfaat terhadap pembentukan arsitektur otak dan mempersiapkan keberhasilan dijenjang sekolah. (4) Bila pemantauan dilakukan oleh tenaga kesehatan dasar dan program anak usia dini maka adanya masalah yang memerlukan penanganan dapat segera diketahui dan ditangani. (5) Prinsip dasar neuroscience dan proses terbentuknya keterampilan pada manusia menunjukan bahwa intervensi yang tepat pada anak usia dini, hasil ahirnya akan lebih bermakna bila dibandingkan dengan remediasi yang dilakukan pada usia yang lebih besar. (6) Kualitas pelayanan pada anak usia dini sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan kemampuan tenaga pelayanan dalam hal membangun hubungan yang positip dengan anak. Sehingga prioritas harus diutamakan untuk memberi pelatihan, pengambilan pegawai dan menciptakan tenaga yang berkualitas.



KESIMPULAN

Perkembangan anak dipengaruhi oleh genetic dan lingkungan.

Perkembangan anak pada usia dini merupakan dasar untuk keberhasilan seseorang pada usia dewasa.

Penanganan yang tepat pada kelompok usia dini akan berdampak pada generasi berikutnya; dan hasilnya akan lebih bermakna bila dibandingkan dengan penanganan masalah pada anak yang lebih besar.

Penanganan anak usia dini melibatkan orang tua, masyarakat dan dukungan kebijakan2 dari pengambil keputusan.



KEPUSTAKAAN

National Scientific Council on Developing Child. The Science of Early childhood development. Closing the gap between what we know and what we do: center on the developing child. Harvard University 2007.

Kyla Boyse. Developmental Milestones. http://www.med.umich.edu/llibr/yourchild/devmile.htm; download November 2008

Effective Practice: Child Development. http://www.med.umich.edu/llibr/yourchild/devmile.htm, download November 2008

Charles Njiokiktjien. What is development. In Pediatric Behavioural Neurology. Clinical Principle vol 1.Suyi Publicaties. Amsterdam 1988:24-36

David Andrewes. Neuropsychology. From theory to Practice. Psychology Press Ltd., New York 2001:1-34



Catatan:

Disajikan pada acara: “Penyusunan Pedoman Pemberdayaan Usila Untuk Meningkatkan Intelegensi Anak”, Puncak, Jawa Barat, Rabu, 3 September 2008. < pusatp3ik@yahoo.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya >

Staf pengajar Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf, subdivisi Saraf Anak RSHS/FK UNPAD Bandung. Mobile: 08122109005. Fax: 022 7304903. < aminahdr@yahoo.co.id Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya >

Kamis, 24 Februari 2011

neurologi



ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Abstrak

Manajemen pasien dengan penyakit Parkinson tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbul komplikasi gejala psikosis, yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut.

Kata kunci : Penyakit Parkinson, komplikasi neuropsikiatri, manajemen

Pendahuluan

Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan secara lengkap gejalanya oleh seorang dokter dan geologis dari Inggris yaitu James Parkinson sekitar 2 abad yang lalu (1817) melalui monografnya An Essay on the Shaking Palsy. Atas jasa dari Arvid Carlsson sebagai pemenang Nobel Prize, saat ini kita mengetahui lebih dalam lagi mengenai prinsip kelainan penyakit Parkinson yaitu hilangnya fungsi dopamine (DA) dan pengobatan menggunakan levodopa sebagai metoda pengobatan yang dipakai, setidaknya saat ini kita telah mencapai suatu tahap pengertian dimana kelainan yang terjadi dan bagaimana cara memperbaikinya.1

Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative progresif yang disebabkan karena proses degenerasi spesifik neuron-neuron dopaminergik ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (badan lewy). Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan Parkinsonism, lebih kurang 80% dari seluruh kasus. Selain itu penyakit Parkinson juga merupakan penyakit neurodegenerative tersering kedua setelah demensia Alzheimer.2,3

Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit Parkinson tidak diketahui. Pada umumnya PD muncul pada usia 40-70 tahun, rata-rata diatas usia 55 tahun, lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia (0,018 %) dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %). 3,4

PD terdapat 4 manifestasi gejala utama motorik : tremor saat istirahat, rigiditas, bradikinesia (berkurang atau lambatnya suatu gerakan), dan instabilitas postural.1,5 Selain itu pada PD juga terdapat gejala non motorik yang termasuk didalamnya adalah gangguan sensoris dan otonom serta gangguan neurobehavioral (neuropsikiatri) seperti depresi, ansietas, dan psikosis yang akan kita bahas lebih lanjut di dalam tulisan ini.5

Gejala Klinis Penyakit Parkinsons : Hubungannya terhadap Psikopatologi

Gejala Motorik

Penyakit Parkinson ditegakkan diagnosis secara pasti melalui ditemukannya : degenerasi dan hilangnya sel saraf berpigmen di substansia nigra (pars compacta) dan badan inklusi (Badan Lewi) intraneuronal di substansia nigra. Penyakit ini dapat ditegakkan secara klinis yang timbul berupa trias motorik : 1) tremor saat istirahat, 2) rigiditas, dan 3) bradikinesia/akinesia ( berkurang atau lambatnya suatu gerakan). Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan kombinasi gejala spesifik yang timbul, namun terdapat heterogenitas pada setiap individu dan tidak ada yang spesifik. Salah satu klasifikasi yang dipakai untuk penegakkan diagnosis PD secara klinis yaitu melalui kriteria dari Hughes 5,6:

l Possible

Terdapat salah satu dari gejala utama : resting tremor, rigiditas, bradikinesia, kegagalan refleks postural

l Probable

Kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak simetris (dua dari empat tanda motorik)

l Definite

Kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardinal) dan responsif terhadap pengobatan levodopa.

Lebih jauh lagi gejala klinis tidak terjadi pada awal penyakit Parkinson dan dapat terjadi kesalahan diagnosis dengan menganggapnya sebagai suatu fenomena depresi. Sebagai salah satu contoh kasus seorang pasien di poliklinik, teman-temannya menyatakan kepada dokter bahwa sekitar 10 tahun sebelum diagnosis PD ditegakkan, pasien ini dikatakan tidak pernah tersenyum setiap di foto.

Pada suatu seri penelitian klinis paling akhir menunjukkan bahwa gejala klasik tremor pada pasien PD terjadi sekitar 70 % pada awal penyakit, dan sekitar 5 % nya datang dengan depresi atau nervousness. Pada penelitian yang sama, terdapat subgroup penelitian mengalami gejala somatik yang bervariasi, yaitu terdapatnya muka topeng atau kelelahan, yang dapat disalah persepsikan sebagai gejala primer depresi dibanding sebagai PD. 5,6

Gejala-gejala yang terjadi pada pasien berhubungan dengan trias motorik pada PD, beberapa diantaranya bertumpang tindih dengan terjadinya suatu gangguan mood. PD dapat dianggap sebagai suatu kelainan primer depresi, dan terjadinya depresi menjadi tidak dikenali pada pasien PD. Dan setelah dua keadaan klinis tersebut terdeteksi akan timbul kesulitan dalam menentukan manakah yang menjadi fenomena klinis motor primer atau patologi primer psikiatrik. (lihat table 1). Sebagai contoh, bradikinesia juga dikenal sebagai komponen didalam depresi, dan biasa dideskripsikan sebagai retardasi psikomotor. 5,6

Gejala tremor yang terjadi pada sekitar 80 % pasien dengan penyakit Parkinson, dapat menjadi suatu komponen yang signifikan pada gejala ansietas. Beberapa pasien juga melaporkan adanya tremor anggota dalam tubuh yang juga dapat berhubungan dengan ansietas. Tremor yang timbul pada awal dari PD menjadi sulit dikenali sebagai suatu gejala PD bila tidak disertai gejala motorik lainnya. Rigiditas ditandai adanya peningkatan tonus saat pergerakan pasif, dapat juga bermanifestasi dalam bentuk seperti keram otot ataupun nyeri. Adanya rigiditas meimbulkan suatu kelainan dalam berjalan dan mengganggu postur tubuh, refleks posisi tubuh yang menghilang, gangguan keseimbangan bahkan kejadian jatuh pada pasien PD sering terjadi seiring dengan progresivitas penyakit. Gejala lainnya seperti disartri, gangguan visual dan genitourinarius, gangguan tidur, kulit berkeringat dan berminyak, edema, konstipasi, parestesia, kelelahan dan penurunan rasa penciuman juga dapat terjadi pada keadaan PD tingkat lanjut. Fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi sebagai gangguan mood dan terapi antidepresan. 5,6

TABEL 1. Gejala Umum pada Penyakit Parkinson dan Depresi Mayor

Penyakit Parkinson

Depresi Mayor

Motor

Bradikinesia

Psikomotor

Postur terhenti

+/- Postur terhenti

Muka topeng

Afek terbatas/depresi

Kognitif

Gangguan Memori

Gangguan Memori

Gangguan konsentrasi

Gangguan konsentrasi

Indecisiveness

Indecisiveness

Vegetatif

Energi berkurang

Energi berkurang

Fatigue

Fatigue

Gangguan tidur

Gangguan tidur

Nafsu makan berubah

Nafsu makan berubah

Somatik

Gangguan fisik

Gangguan fisik

Gangguan Kognitif

Dalam perkembangan penyakitnya, PD dapat menyebabkan gangguan kognitif yang bervariasi tingkat keparahannya. Penyebabnya adalah multifaktorial, menyangkut didalam sistem dopamin di subkortikal – frontal dan sistem ekstrastriatum.Gangguan kognitif (disfungsi eksekutif, visuospasial, memori, dan atensi) pada pasien PD dapat menimbulkan hendaya pada pasien dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari ataupun kegiatan rumah tangga serta dapat membuat pasien menjadi tertekan. Terdapatnya gangguan mood yang terjadi, menyertai, atau mengikuti perubahan kognitif dapat mengganggu dalam penilaian gangguan fungsi kognitif yang terjadi dan gangguan yang terjadi seakan lebih berat daripada kenyataannya. Sekitar 25 % pasien berkembang menjadi demensia tipe Alzheimer dengan terdapatnya afasia, apraksia, dan defisit memori. Sementara depresi dapat terjadi bersamaan pada pasien PD dengan demensia, keluarga dan klinisi yang melihat terjadinya kurangnya sosialisasi pada pasien menganggapnya sebagai suatu kelainan depresi dibandingkan suatu keadaan hendaya fungsi kognitif sehingga pasien diberikan obat-obatan antidepresan.

Pengenalan gejala demensia pada PD sangatlah penting bagi klinisi karena pada pasien-pasien ini sangat rentan dalam pemberian obat-obatan psikoaktif yang dapat mengakibatkan terjadinya delirium, dan lebih jauh lagi sebagai penyebab nursing home pada pasien PD.6

Terapi Komplikasi Motorik dan yang berhubungan

Kebanyakan medikasi antiparkinson dapat mengurangi gejala-gejala motorik melalui peningkatan availabilitas dopamine, dimana saat ini sedang berkembang terapi-terapi yang baru. Walaupun begitu dengan medikasi obat-obatan tersebut dapat menyebabkan komplikasi seperti delirium, perubahan mood, dan psikosis. Suatu prekursor dopamine yaitu levodopa merupakan terapi yang efektif untuk mengkontrol gejala motorik pada PD. Pemberian levodopa ini biasanya dikombinasikan dengan pemberian preparat carbidopa, yang merupakan enzim penghambat metabolisme dopamine di perifer. Bromokriptin, pergolide, dan agen-agen yang baru seperti pramipexole dan ropinirole merupakan agonis reseptor dopamine, yang cara kerjanya meningkatan aktifitas dopamine paska sinap. Deprenyl atau selegeline, suatu penghambat oxidase-B monoamine, dan talcapone, suatu penghambat transferase katecolamin, bekerja menghambat metabolisme dopamine dan meningkatkan sinaps dopamine. Amantadin dan agen antikolinergik seperti trihexiphenidyl dan benztropine juga digunakan untuk mengkontrol gejala motorik.6

Penggunaan obat-obatan tersebut jangka panjang dan kombinasi progresifitas PD lama kelamaan akan mempengaruhi stabilitas mood. Selain itu perkembangan penyakit menyebabkan terjadinya fluktuasi periode ‘on’ dan ‘off’ motorik pasien yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan dosis yang lebih tinggi lagi untuk mengatasinya.6

Fluktuatif gejala motorik yang terjadi pengaruhnya sangat bervariasi pada pasien PD, tergantung kemampuan pasien dalam mentoleransi fluktuasi motorik yang terjadi. Pada beberapa pasien fluktuatif motorik ini menyebabkan suatu keadaan distress, disabilitas, disfigur atau memalukan, berbeda-beda antara tiap pasien. Pandangan pasien terhadap fluktuasi motorik yang terjadi ini dipengaruhi oleh keadaan jiwa dan kemampuan kognitif seseorang. Emosi dapat mencetuskan suatu keadaan fluktuasi motorik, walaupun pada beberapa pasien fluktuasi terjadi tanpa suatu pencetus.6

Suatu reaksi psikologis dapat berpengaruh terhadap fluktuasi motorik, perubahan mood berhubungan erat dengan terjadinya fluktuasi motorik, diperkirakan mekanisme utama dari dopaminergik. Biasanya, pasien akan mengalami perubahan mood menjadi depresi atau ansietas pada periode off dan menjadi neutral atau mood meningkat pada periode on. Pada laporan lainnya mendeskripsikan suatu keadaan iritabel, apatis, halusinasi, psikosis, berteriak-teriak, dan tumpulnya kognisi saat periode off dan hiperseksualitas, hipomanik selama periode on. Manajemen pengobatan gangguan mood yang berhubungan dengan fluktuasi motorik pada pasien PD sangat sulit. Manajemen pengobatan yang diberikan harus memperhatikan rejimen antiparkinson yang diberikan, dan penentuan adanya gangguan mood.6

Terapi operatif pada pasien PD telah dimulai lebih kurang 30 tahun yang lalu, dan sangat membantu dalam mengontrol gejala yang timbul serta komplikasi yang terjadi. Palidotomi merupakan terapi pilihan pada pasien PD dengan diskinesia dan fluktuasi motorik. Talamotomi dikerjakan untuk mengatasi tremor pada pasien PD dan kondisi esensial tremor lainnya atau multiple sclerosis. Beberapa analisis palidotomi dapat mengurangi kejadian ansietas dan depresi tetapi tidak berhubungan dengan perbaikan motorik. Terapi mutakhir lainnya yang tidak terlalu invasive yaitu deep brain stimulation (DBS), semacam pacemaker yang ditanamkan pada otak yang memberi impuls listrik ke thalamus atau globus palidus yang dapat diatur kebutuhannya dalam mengatasi tremor yang terjadi.6

Komplikasi Psikiatrik

Selama bertahun-tahun, diperkirakan fenomena psikiatrik yang terjadi pada PD, seperti perubahan afek, dikatakan berhubungan dengan berkurangnya dopamine dan gangguan motorik. Setelah ditemukannya penggunaan terapi levodopa pada tahun 1960, hampir dua pertiga pasien PD mengalami gangguan afektif yang persisten, walaupun telah diberikan terapi antiparkinson, dan perubahan mood yang terjadi sulit diperbaiki dengan terapi antidepresan. Jadi dapat dikatakan penyebab utama gangguan psikiatrik pada PD disebabkan oleh kelainan neurodegeneratif, selain itu reaksi psikologis terhadap keadaan klinis yang terjadi harus pula dipertimbangkan. Perkembangan PD menjadi suatu tahap yang lebih lanjut didasari oleh kehilangan saraf-saraf dopaminergik di substansia nigra dan efek sekunder pada proyeksi pada sistem yang menyangkut nucleus kaudatus, putamen (striatum), frontal dan bagian dari girus cinguli. Berdasarkan hal tersebut, bervariasinya gejala motorik dan non motorik pada PD dan hubungan diantara gejala tersebut merupakan hasil dari terjadinya disfungsi sirkuit kortiko-basal ganglia- thalamus.6

Selain hilangnya neuron dopaminergik pada PD juga terjadi degenerasi pada neuron-neuron noradrenergik di lokus seruleus, neuron serotonergik di bagian dorsal dari raphe, dan saraf kolinergik di nucleus basalis dan sistem proyeksinya.Tingkat kehilangan saraf pada saraf-saraf tersebut diperkirakan menjadi penyebab dari heterogennya gejala motorik, kognitif, dan psikiatrik yang terjadi pada pasien PD. Hal ini telah dibuktikan oleh Paulus dan Jellinger yang menunjukkan terjadinya perbedaan pola neuropatologis yang terjadi pada pasien PD yang rigid-akinetik dibandingkan dengan PD dengan dominant tremor.

Pada penelitian serial oleh peneliti yang sama menunjukkan pada pasien PD dengan demensia terjadi lesi yang sama dengan tipe Alzheimer dan kehilangan sebagian saraf di daerah medial dari substansia nigra, sedangkan pada pasien dengan depresi terjadi kehilangan saraf yang besar pada raphe bagian dorsal. Walaupun begitu pada pasien dengan psikosis tidak terjadi kelainan neuropatologis yang spesifik.6

Hubungan antara fenomena motorik, kognitif, dan psikiatrik pada pasien dengan PD merupakan tantangan bagi para klinisi untuk melakukan penilaian psikopatologi pada pasien. Sulitnya penilaian psikopatologi pada PD juga terjadi akibat berfluktuasinya efek pengobatan psikoaktif ditambah dengan perkembangan progresif dari penyakit. Oleh karenanya para klinisi harus lebih melakukan anamnesa yang lebih dalam pasien mengenai kondisi psikiatrik pasien sebelumnya, riwayat keadaan keluarga, temperamen, mekanisme koping , keadaan sosial dan kejadian penting yang terjadi dalam hidupnya.

Gangguan Mood

Pasien dengan PD idiopatik sekitar 90 % nya mengalami komplikasi psikiatrik, termasuk didalamnya gangguan mood mayor (depresi mayor, distimia, atau gangguan bipolar); gangguan penyesuaian; gejala ansietas disabling, perubahan mood yang dicetuskan oleh obat, rasa sedih patologis, demensia; keadaan apatis; atau delirium. Gangguan mood yang berfluktuasi (perubahan mood dari mood depresi menjadi hipomani yang dapat terjadi beberapa kali sehari) diperkirakan terjadi pada 7 % hingga 21 % pasien PD. Perubahan mood ini diasanya terjadi mengikuti fluktuasi motorik, pada saat pasien mengalami mood yang rendah (bercampur dengan keadaan depresi-ansietas) terjadi pada saat periode off dan mood yang normal atau meningkat (euphoria dan hipomanik) terjadi pada periode on. Namun, fluktuasi mood ini juga dapat terjadi tanpa disertai fluktuasi motorik pada beberapa pasien. 6,7

Depresi

Depresi mayor terjadi hampir 40 % pada pasien dengan PD, angka kejadian tersebut bervariasi dari tiap studi yang ada yaitu dari 4% hingga 70 %. Depresi mayor terjadi pada hampir setengahnya pasien dengan depresi, sedangkan lainnya disertai gangguan penyesuaian, distimia atau kelainan bipolar. Intensitas gejala depresi mayor secara umum terjadi dari sedang hingga berat dan sering bersamaan dengan gejala ansietas. Secara umum, studi yang ada tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara onset umur dan lamanya PD, riwayat anggota keluarga dengan gangguan mood, atau riwayat pasien dengan episode depresi sebelumnya.6,7

Isu yang berkembang saat ini adalah apakah sindrom depresi mayor PD merupakan reaksi dari disabilitas motorik atau apakah sindrom yang terjadi merupakan perkembangan intrinsik proses PD. Dari studi yang ada belum ada yang dapat menjelaskan secara jelas mengenai hubungan keadaan tersebut.7,8

Terlihat dengan jelas hubungan antara mood dan fenomena motorik sangatlah kompleks. Menariknya adalah perbaikan motorik dengan obat-obatan tidak diikuti dengan perbaikan mood, tetapi keberhasilan pengobatan depresi berhubungan dengan perbaikan fungsi motorik. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara perbaikan dari suatu episode depresi dan gangguan kognitif setelah mendapatkan pengobatan gangguan mood. 6,7,8

Beberapa studi menunjukkan implikasi serotonin terhadap terjadinya depresi pada PD. Studi neurokimia menunjukkan turunnya jumlah metabolit serotonin (5-HIAA) baik di perifer dan sentral, yang terjadi perbaikan gejala depresi dengan terapi serotonergik, dan penurunan pengikatan platelet-imipramin pada pasien PD dengan depresi. Pada studi neuroimaging pada pasien PD dengan depresi menunjukkan hipometabolisme relatif di daerah kaudatus dan orbito-frontal inferior dan bagian medial lobus frontal dibandingkan pasien PD tanpa depresi dan subyek kontrol.9

Apatis

Gejala apatis dapat timbul pada PD dengan gejala depresi mayor. Terdapat dua studi yang menelaah apatis yang terjadi pada PD. Pada studi sebelumnya, depresi dan apatis dapat timbul bersamaan pada sekitar 30 % sample, dan 12 % hingga 16 % pasien hanya mengalami apatis saja. Dibandingkan dengan pasien PD yang eutimik, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam usia, jenis kelamin, lamanya menderita PD, atau beratnya gangguan motorik tetapi pada pasien dengan sindoma apatis terjadi relative pada usia lanjut dibandingkan dengan PD yang disertai depresi.6,7

Keadaan apatis merupakan analogi dari aspek PD itu sendiri, seperti keadaan bradiphrenia dan bradikinesia, diperkirakan beberapa gejala kognitif, behavioral, dan motorik pada PD saling berhubungan patofisiologinya. Sebagai buktinya yaitu keadaan bradiphrenia berhubungan dengan hilangnya neuron pada lokus seruleus yang berimplikasi terjadinya disfungsi noradrenergik.6,7

Emosionalisme

Pada beberapa studi mendapatkan suatu keadaan meningkatnya frekuensi menangis atau labilnya emosi pada pasien PD disbanding pada subyek kontrol. Keadaan emosi yang timbul pada PD merupakan suatu keadaan sentimental yang tinggi dan berlebihan yang tidak sesuai, tidak dimotivasi dan tidak disadari. Biasanya berlangsung singkat, tetapi sering mereka sampai timbul air mata. Keadaan menangis yang berlebihan pada PD dapat terjadi sebagai tanda depresi mayor, inkontinensia emosional (dikenal sebagai tertawa atau menangis patologis), delirium, atau dengan penggunaan benzodiazepine. Pasien sering mendeskripsikan keadaan emosional yang berlebihan dan tidak terkontrol biasanya dicetuskan melalui berbagai stimulus positif ataupun negatif, sebagai contoh adegan di televisi yang membuat sedih, hal-hal pengkhawatiran tentang masa depan, atau melihat orang sedang berbuat kebaikan. Pada beberapa pasien, emosionalitas ini membuat suatu keadaan yang sangat memalukan secara sosial, yang menimbulkan fobia bagi pasien. Dari segi pasien sendiri dan atau keluarganya menyimpulkan bahwa menangis ini berarti mereka “mengalami depresi” dan hal ini harus disadari keadaan ini sering terjadi pada PD, bahkan tanpa disertai sindroma depresi sekalipun. Pemeriksaan yang seksama mengenai keadaan emosional pasien PD menunjukkan hampir 40 % pasien mengalami peningkatan keadaan menangis sejak onset PD, dan 11 % nya keadaan emosionalnya lebih pervasif. Tidak ada hubungan yang pasti antara emosionalitas dan gangguan kognitif atau sindroma depresi mayor.6

Ansietas

Keadaan ansietas merupakan masalah umum terjadi pada pasien PD, tetapi sering kurang diperhatikan mengenai fenomena ini. Ansietas ini dapat terjadi ‘berdiri sendiri’ atau merupakan suatu gejala depresi, secara klinis keadaan ansietas terjadi pada sekitar 40 % pasien PD. Secara umum gejala yang timbul dapat berupa kelainan umum ansietas, fobia sosial, dan kelainan panik, yang prevalensinya rata-rata sekitar 25 % pada beberapa studi. Sindroma tersebut dapat terjadi sebelum atau menyertai sindroma depresi mayor, dan dapat terjadi setelah keadaan depresi diterapi. Disamping itu semua, kita sebagai klinisi haruslah memilah apakah keadaan ansietas yang terjadi akibat respon psikologis yang masih bias ditolerir karena akibat gejala motorik yang timbul atau apakah suatu keadaan yang lebih personal.Sindroma ini juga dapat terjadi secara independent akibat kadar levodopa yang berfluktuasi. Disfungsi otonom yang merupakan komplikasi yang umum pada pasien PD disamping suatu keadaan status psikiatrik, juga dapat berhubungan dengan keadaan ansietas atau depresi. Berdasarkan hal tersebut, keluhan somatik (flusing, dizziness, sering berkemih, atau perubahan dari denyut jantung) harus dievaluasi lebih hati-hati karena dapat terjadi kesalahan diagnosis (dan salah terapi), bila hal tersebut mewakili dari sindroma afektif.6,7

Sindroma ansietas pada PD tampaknya berhubungan dengan penyakit otak yang mendasari, dengan implikasi disfungsi noradrenergik. Pada beberapa studi menunjukkan sindroma ansietas mendahului onset dari gejala motorik, tetapi juga dapat timbul setelahnya. Studi lain juga memaparkan mengenai hubungan antara gejala panik dan fluktuasi pengobatan antiparkinson dan gejala motorik, tetapi hubungan yang jelas antara ansietas dan tingkat disabilitas, gejala motorik, dan pengobatan dengan dopaminergik belum dipublikasikan.Walaupun begitu, sindroma ansietas pada PD dapat mewakili perbedaan lokasi patologi pada PD. Pada analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa kemampuan kognitif pada pasien PD dengan keadaan ansietas relatif lebih baik dibanding tanpa keadaan ansietas, terutama mengenai pemeriksaan yang berhubungan dengan proses kognitif lobus frontal.6,7,8

Psikosis

Halusinasi dan delusi terjadi pada 40 % pasien PD dan merupakan penyebab utama penempatan pasien di tempat perawatan. Gejala halusinasi yang sering timbul berupa halusinasi visual pada sekitar 15 % hingga 40 % pada suatu studi cross-sectionally. Prevalensi pada suatu studi komunitas kejadian halusinasi sekitar 9,8% dengan insight yang baik dan 6% mengalami halusinasi berat atau delusi. Delusi sangat jarang terjadi biasanya terjadi disertai dengan halusinasi dengan prevalensi yang bervariasi yaitu sekitar 3 % hingga 30%. Halusinasi auditorik dilaporkan terjadi pada 8 % hingga 13 % pasien dan dapat tidak terdiagnosis. 6,7

Psikosis yang timbul berhubungan dengan pengobatan dopaminergik, sekitar 20 % pada pasien PD. Psikosis dapat timbul secara spontan atau berhubungan dengan gangguan kognitif, fluktuasi periode “on” dan “off”, gangguan mood, pengobatan psikoaktif, dan atau keadaan delirium. Gejala psikosis yang timbul secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama terdiri dari gejala halusinasi visual berupa gambaran ‘binatang’ atau ‘orang’ yang terjadi dengan rasa sensasi yang jelas dan disertai insight. Tipe yang kedua halusinasi atau delusi yang terjadi menjadi persisten tetapi dengan hilangnya insight. Pada grup yang ketiga, halusinasi atau delusi terjadi pada keadaan delirium. 6,7,9

Halusinasi dan delusi juga terjadi sebagai gejala dari depresif mayor atau gejala manik, hal ini merupakan diagnosis yang harus diperhatikan pada saat pasien dalam keadaan agitasi. Pada suatu studi pada populasi tentang psikosis menunjukkan adanya hubungan antara gejala psikotik dan umur, tahap perkembangan, dan subgrup diagnostik dari PD, beratnya depresi, dan gangguan kognitif, dimana pengobatan antiparkinson tidak dibedakan diantara pasien PD dengan atau tanpa psikosis. Penemuan ini menunjukkan patologi pada otak yang dipengaruhi sangatlah luas pada pasien dengan keadaan psikosis dan menyangkal adanya pendapat mengenai perkembangan psikosis akibat pengobatan antiparkinson. Adanya defisit kolinergik pada psikosis pasien PD telah menjadi wacana.6,7,9

Patofisiologi psikosis pada PD tidak diketahui secara pasti (table 2). Laporan terjadinya psikosis pada pasien PD sering timbul pada penggunaan terapi levodopa.4 Semua agen, termasuk agonis dopamine, amantadin, dan levodopa dapat menyebabkan psikosis dan mengalami perbaikan dengan penurunan dosis. 4 Hal inilah yang menjadi pemikiran bahwa psikosis yang terjadi akibat sekunder hipersensitifitas reseptor dopamine di regio mesokortikal dan mesolimbik yang diakibatkan stimulasi berlebihan dari pengobatan dopaminergik. Teori lain mengatakan, adanya ketidakseimbangan antara sistem dopaminergik dan serotonergik akibat pengobatan dengan dopaminergik yang menurunkan kadar serotonin atau stimulasi yang berlebihan dari reseptor serotonergik karena terapi dopaminergik. Teori lainnya yaitu psikosis yang berkaitan dengan defisiensi kolinergik yang biasanya terjadi pada pasien PD dengan gangguan kognitif, dikatakan defisiensi kolinergik memegang peranan terjadinya psikosis.6,7,9

Tabel 2

Faktor Resiko terjadinya Psikosis pada PD

Faktor Primer

Terapi Dopaminergik

Dopamin agonis (pergolid, bromokriptin, rapinirole, pramipexole), L-dopa Catechol-O-methyltransferase inhibitor (entacapone, tolcapone)

Faktor Tambahan

Pengobatan Psikoaktif

  • Agen antiparkinson : antikolinergik, selegeline, amantadin
  • Agen lain : benzodiazepine, antikolinergik lain, antihistamin, steroid, opiate

Kelainan Medis lain

Kondisi sistemik, dehidrasi, nyero, trauma intracranial yang tidak terdeteksi atau fraktur, infeksi akut atau subakut (ISK, pneumonia, konstipasi, selulitis)

Kondisi Komorbiditas Neuropsikiatrik

Gejala depresi, sindroma depresi, demensia, penyalahgunaan L-dopa

Gangguan tidur

Terapi

Suatu petunjuk terapi dari data-data empiris dalam menangani terapi kondisi psikiatrik pada pasien PD sangat sedikit; data yang ada berupa laporan uji klinis terbuka atau studi deskriptif. Pada suatu meta-analisis terakhir hanya terdapat 12 uji klinis terapi depresi pada pasien PD namun kualitas literature ini sangatlah lemah. Lebih jauh lagi, diantara uji klinis tersebut tidak menggunakan obat-obatan antidepresi yang baru dari satu dekade terakhir. Hal yang sama terjadi pada terapi psikosis pada pasien PD, kecuali pada suatu studi yang baru, dengan sample besar, multisenter, buta ganda, dengan kontrol plasebo yang menunjukkan efikasi dengan menggunakan clozapin dosis kecil (6,25 mg – 50 mg/day). Mengenai terapi behavioral atau obat-obatan pada keadaan ansietas, emosional, atau apatis pada pasien PD belum dilakukan studi lebih lanjut.5,6,7

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat-obatan psikotropik pada pasien PD untuk mengatasi gejala-gejala psikiatrik adalah penyakit otak yang mendasari dan usia pasien yang sebagian besar adalah usia lanjut yang mudah timbul efek samping. Selain itu pengobatan psikiatrik meningkatkan risiko gejala motorik dan gejala gangguan kognitif. Pada setiap pasien, langkah pertama yang perlu dilakukan termasuk memperhatikan obat antiparkinson dan terapi medis yang lain, eliminasi polifarmasi yang tidak penting, dan meminimalisasi fluktuasi pengobatan dan efek samping obat-interaksi obat.5,6,7

Berdasarkan data ilmiah yang terbatas mengenai penggunaan agen antidepresan pada pasien PD, pengobatan yang diberikan biasanya berdasarkan efek samping yang akan muncul. Efikasi parsial ditunjukkan pada pemberian antidepresan trisiklik seperti nortriptilin, yang menghambat reuptake serotonin-norepinephrin, dan bupropion, yang menghambat norepinefrin dan reuptake serotonin. Penggunaan terapi electroconvulsive merupakan salah satu pilihan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada pasien PD. 7,9

Secara umum, penggunaan benzodiazepine kurang baik ditoleransi untuk terapi ansietas, agitasi, atau gangguan tidur yang berhubungan dengan depresi karena memberikan efek yang kurang baik pada fungsi kognitif. Penggunaan benzodiazepine hanya disarankan pada suatu keadaan akut agitasi yang berat membahayakan bagi pasien dan orang lain; pemberian antipsikotik tidak terlalu efektif walaupun quetiapine dapat memberi efek yang memuaskan. Pemberian haloperidol tidak direkomendasikan pada pasien PD karena dapat menginduksi parkinsonisme yang berat. Pemberian odansentron, merupakan inhibitor serotonin 5-HT3, secara intravena, intrmuskular atau secara oral dapat membantu keadaan emergensi. 5,6,9

Pengobatan psikosis pada pasien dengan PD secara umum harus memperhatikan obat-obatan antiparkinson, menentukan masalah yang disertai dengan ansietas dan gangguan tidur, edukasi pasien dan caregiver, dan bila diperlukan pemberian obat antipsikosis. Penggunaan agen atipikal (clozapin, olanzapin, quetiapine, dan risperidon) menunjukkan efektifitasnya pada dosis rendah untuk tatalaksana psikosis. Sayangnya kebanyakan pasien tidak mentoleransi efek konfusi/delirium, sedasi atau meningkatnya gejala Parkinson. Penggunaan agen kolinergik (donepezil) dapat menurunkan gejala psikosis pada PD, yang mengimplikasi mekanisme dopaminergik.7

Penentuan dosis dan lamanya pengobatan dapat mempengaruhi respon terapi dan efek samping yang timbul. Biasanya pasien respon dengan dosis kecil clozapin 6,25 mg – 12,5 mg perhari malam hari, tetapi beberapa pasien membutuhkan dan standar toleransi atau dosis yang lebih tinggi. Clozapin merupakan standar emas agen antipsikotik yang digunakan pada pasien dengan PD. Obat lain yang merupakan pilihan utama yaitu quetiapin dengan dosis inisial 6,25 – 25 mg, malam hari. Dosis efektif pada pasien dengan PD yaitu 50-75 mg perhari, tapi pada beberapa pasien membutuhkan dosis hingga 400 mg perhari. 7

Kesimpulan

Manajemen pada pasien dengan PD tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbulnya gejala psikosis, yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zigmond MJ and Burke RE. Pathophysiology of Parkinson’s Disease. Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. Ch 123 p 1781-1793

2. Cheryl HW. Diagnosis and managements Parkinsons Disease 2nd ed. Professional Communications Inc. 1999

3. Rowland LP. Merrit’s Neurology 11th edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.2005: 828-845

4. Tan LCS, Venketasubraniam, Hong CY, et.al. Prevalence of Parkinsons Disease in Singapore.Neurology 2004; 62; 1999-2004

5. Fahn S and Ford B. Medical Treatment of Parkinson’s Disease and its Complications in Neurological Therapeutics Principles and Practice vol 2 part 2. Martin Dunitz. United Kingdom. 2003. p 2447-2482

6. Marsh Laura. Neuropsychiatric aspects of Parkinson’s Disease. Psychosomatics 41:1, January – February 2000.

7. Ferreri F. Agbokou C. Gauthier S. Recognition and management of neuropsychiatric complications in Parkinson’s disease. CMAJ 2006; 175(12):545-52

8. Hanagasi HA dan Emre M. Management of the Neuropsychiatric and Cognitive Symptoms in Parkinson’s Disease. Practical Neurology 2002;2;94-102

9. Marsh Laura. Psychosis in Parkinson’s Disease. Primary Psychiatry 2005;12(7):56-62